gunung kidul

Gunung Kidul dalam perspektif Kahyangan

Badailautselatan 14 maret 2014. Kahyangan, menurut Wikipedia kata Kahyangan berasal dari kata Ka-Hyang-an yang kesemuanya dirangkai mengandung arti tempat kediaman para Hyang atau leluhur, Hyang dimasudkan adalah suatu keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan suparanatural (berlifat ilahiah atau roh leluhur) dan saat ini terjemahan bebasnya Kahyangan adalah tempat para dewa yang disamakan dengan surga. Dari kesimpulan di atas bisa disamakan bahwa yang tinggal di Kahyangan adalah makhluk bukan berbadan manusia sebagaimana manusia yang hidup.

Cerita di masyarakat yang menyinggung tentang kahyangan biasanya cerita pewayangan, kali ini saya membandingkan makna Kahyangan dari dua cerita(lakon) pewayangan yang berbeda, yaitu Petruk Takon Bapa (Petruk menanyakan siapa ayahnya) dan Kresna Gugah (Sayembara membangunkan tidur panjang Kresna)

  1. Pada lakon Petruk Takon Bapa, terdapat adegan Petruk dan saudaranya Nala Gareng tidak puas atas jawaban-jawaban baik dari tuannya (Pandawa) bahkan ke Guru Besar Resi Durna, maka iapun memutuskan pergi menuju Kahyangan bersama saudaranya Nala Gareng pergi menghadap para Dewata di Kahyangan Indralaya untuk mencari tahu siapa sebenarnya ayah biologis mereka. Mereka menuju Kahyangan dengan cara mendaki Gunung Indralaya.
  2. Pada lakon Kresna Gugah, diadakan sayembara barang siapa yang sanggup membangunkan Kresna dialah (Pandawa dan Kurawa) yang akan memenangkan perang agung Bharata Yuda, maka berebutlah keuda pihak ini untuk membangunkan Kresna dari tidur panjangnya. Yang ternyata yang dirubung oleh Pandawa maun Kurawa adalah badan jasmaninya Kresna saja, sementara rohnya sedang berada di Kahyangan beserta para Dewa membahas takdir peperangan agung tersebut.

Selama ini penafsiran dari setiap adegan pewayangan selalu didasarkan pedoman bahwa yang ada dalam pewayangan tersebut adalah kiasan atau gambaran keadaan manusia bahkan sering juga didekatkan pada proses pengajaran agama Islam, misalnya perang Bharata Yuda ditafsirkan sebagai peperangan antara nafsu, pusaka jamus Kalimasada sebagai manifestasi Kalimat Syahadat. Menurut saya itu sah-sah saja karena pewayangan telah melewati akulturasi budaya sejak masa Demak dan Mataram  guna memasukkan Islam pada masyarakat Jawa yang telah lama memiliki keyakinan kuat tentang konsep ketuhanan. Terlepas dari hasil akulturasi tersebut, sepertinya konsep Kahyangan tidak mengalami perubahan, hanya saja semakin hari sepertinya ada sebuah kesepakatan pengetahuan di mana definisi Kahyangan adalah tempat para Dewa, roh leluhur dan disamakan dengan surga.

Jika kita mencermati cerita pewangan Petruk Takon Bapa, ada sebuah perbedaan mendasar dengan cerita Kresna Gugah dalam hal proses mencapai tempat bernama Kahyangan. Hal ini sangat terasa sekali jika kita membandingkan posisi kedua tokoh ini, Petruk adalah seorang abdi (pembantu) yang selalu mengiringi dan menasehati para tuannya (Pandhawa dan keturunannya) sedangkan Kresna adalah penjelmaan Dewa Wisnu di Arcapadha(bumi), pembantu(rakyat jelata) vs titisan dewa, kasta sudra vs kasta brahmana. Ada kesenjangan yang begitu besar di keduanya, mungkinkah seorang kasta sudra memiliki kemampuan yang sama dengan seorang kasta brahmana (apalagi titisan Dewa Wisnu) jika kita memaknai Kahyangan yang di datangi Petruk dan Kresna adalah sama.

Adegan yang lebih jelas sebenarnya ketika disebutkan Petruk dan Gareng mendaki Gunung Indrakila, sementara roh Kresna pergi ke Kahyangan dengan cara meninggalkan raganya, jika kita menganggap bahwa Kahyangan yang dituju keduanya adalah sama maka ada ketimpangan yang jauh lebih besar, yaitu Petruk dan Gareng  yang cuma seorang pembantu justru bisa masuk ke Kahyangan (yang dianggap surga) dengan membawa badan jasmaninya, sementara Kresna yang merupakan titisan Dewa Wisnu justru memasuki Kahyangan hanya bisa dengan rohnya.

Saya melihat ada sebuah kesalahan pemahaman Kahyangan selama ini, jika mengacu cerita pewayangan tersebut rasanya ada 2 kahyangan yang berbeda dimensi. Ketika Kresna menuju Kahyangan (pada cerita Khresna Gugah) untuk membahas takdir peperangan Bharata Yuda bersama para Dewa, nampaknya kahyangan yang di maksud adalah sebuah tempat yang tidak bisa dijangkau oleh alam manusia, sehingga untuk memasukinya Kresna harus meninggalkan badan kasarnya di bumi, sedangkan Petruk (di cerita Petruk Takon Bapa) menuju Kahyangan untuk menanyakan siapa ayahnya yang sebenarnya, kahyanganyang dimaksud adalah sebuah tempat di bumi yang memiliki setidak-tidaknya memiliki keindahan dan ketentraman yang tak ternilai oleh jangkauan gambaran manusia sehingga di samakan dengan Kahyangan tempat para dewata, sedangkan dewa yang ditemui oleh Petruk sepertinya manusia yang memiliki kemampuan menyerupai dewa.

Saya memiliki anggapan seperti itu karena ada dua nilai kepentingan yang berbeda, yaitu sekedar menanyakan jati diri sejarah keturunan dan takdir, selain itu mengingat Petruk (dan punakawan lainnya) di setiap pewayangan mulai dari cerita para dewa misal Sri Wisnu Krama, kemudian cerita di masa Ramawijaya sampai Bharata Yuda selalu ada menemani maka orang yang tahu tentulah orang yang mumpuni dengan gelar di atas resi, karena Resi Durna yang merupakan guru besar dari Pandawa dan Kurawa tidak tahu sama sekali. Dengan begitu Kahyangan tersebut adalah sebuah tempat di bumi yang terletak di atas Gunung Indrakila tempat seorang mumpuni menjauhi keramaian dan kemungkinan besar itu adalah sebuah pertapaan.

Sedangkan jika saya mengambil contoh sebuah kejadian yang dimuat dalam prasasti Turun Hyang (B) di mana Sang Jatiningrat (gelar Airlangga ketika mengundurkan sebagai raja) turun kembali untuk melakukan prosesi pembelahan wilayah kerajaan, muncul sebuah penggambaran bahwa Airlangga yang tidak menjabat lagi sebagai raja Kadhiri telah mendiami sebuah tempat khusus di luar istana, yang secara topography seharusnya lebih tinggi dibanding wilayah Kedhiri karena bagaimanapun Airlangga(Jatiningrat) masih hidup dan walau tidak menjabat sebagai raja tapi masih memiliki kekuasaan yang sangat besar.

Juga tingginya tempat yang ditinggali memungkinkan dirinya bisa mengamati secara langsung perkembangan fisik kotaraja. Dari beberapa tempat yang ada di wilayah Kedhiri hanya Gunung Klothok (tempat Goa Selo Mangleng) dan Gunung Wilis lah yang kiranya mencukupi persyaratan yang saya maksud.

Dengan begitu ketika peristiwa Dewi Kilisuci tidak mau berkuasa atas Kedhiri maka Airlangga turun dari salah satu tempat yang dipakai sebagai pertapaannya menuju Dhahanapura (Ibu kota kerajaan Kedhiri) guna melakukan pembelahan wilayah kekuasaan.

Tentunya kejadian seperti penolakan posisi kekuasaan oleh Dewi Kilisuci tidak serta merta diketahui secara langsung oleh Sang Jatiningrat(Airlangga), pastilah ada pembicaraan khusus antara orang-orang kerajaan dengan Airlangga di tempat pertapaannya, dan proses perjalanan dari Kedhiri menuju pertapaan Airlangga kiranya bisa disamakan dengan proses perjalanan yang dilakukan oleh Petruk dan Gareng dalam cerita pewayangan Petruk Takon Bapa.

—–end—

Pada bulan September-Oktober 2012 di Gunung Kidul  sedang ada proses eskavasi tepatnya di Situs Pulutan yang terletak di Dusun Butuh, Desa Pulutan, Kecamatan Wonosari. Banyak warga Gunung Kidul yang mendengar kabar ini berharap eskavasi tersebut akan menemukan sebuah candi yang besar atau setidaknya candi dalam persepsi umum adalah seperti candi Prambanan atau setidak-tidaknya seperti candi Risan yang ada di Kecamatan Semin, Gunung Kidul sehingga Gunung Kidul memiliki sebuah icon terbaru yang membanggakan.

Nampaknya harapan tersebut belum terwujud karena tidak ditemukan konstruksi badan candi secara lengkap sebagaimana yang diharapkan, mengutip berita yang diposkan di  web BPCB Yogyakarta :

–          Struktur bangunan yang diperkirakan sebuah candi. Bangunan diketahui berdenah bujur sangkar dengan sisi berukuran 5,5 x 5,5 m. Pintu masuk selebar ± 1 m berada di sisi timur bangunan. Bahan penyusun bangunan dari batu putih. Di tengah bangunan ditemukan struktur dinding sumuran sisi utara, barat, dan selatan, sedangkan sisi timur belum dapat ditampakkan karena terhalang akar pohon.

–          Temuan lepas berupa 3 ( dua) buah arca. Jika dilihat dari ikonografinya masing-masing diketahui sebagai Arca Agastya, Arca Ganesha, dan Arca Durga.

Dari hasil penemuan tersebut muncul sebuah komentar  “ternyata hanya sebuah pertapaan”.Entah apakah ungkapan kekecewaan tersebut  muncul dari hasil singgungan langsung dengan orang-orang yang terlibat baik secara langsung ataupun tidak, yang pasti justru ungkapan kekecewaan tersebut sangat menarik bagi saya.

Hanya sebuah pertapaan!

Sangat memungkinkan jika  struktur bangunan dari Situs Pulutan mewakili situs-situs lain dari masa yang sama yang belum ditemukan, di mana situs-situs ini merupakan bangunan pendamping yang memiliki formasi menyerupai candi perwara.

Dan bangunan-bangunan candi semacam Situs Pulutan ini bukan lagi sebuah candi yang dipakai banyak orang untuk memuja roh leluhur, melainkan sebuah bangunan tempat semadi (bertapa-sanggar pamelengan) bagi para raja (atau bangsawan lain)  yang memutuskan untuk meninggalkan hingar bingar pemerintahan guna mencapai jalan kesejatian hidup, dikarenakan para raja/bangsawan tidak hidup di masa yang sama sedangkan setiap raja/bangsawan tidak diperbolehkan menempati bangunan yang sama maka terbentuklah sebaran lokasi candi yang membentuk jalur candi perwara sebagaimana yang saya maksud di atas, tentunya tempat pembangunan candi (sanggar pamelengan) ini memiliki kaidah tersendiri, tidak sembarang raja/bangsawan bisa menempati setiap wilayah, pola pembagian wilayah ini sekilas mengingatkan saya pada pola pemakaman para Raja Mataram di Imogiri.

Sebagaimana yang pernah saya postingkan di blogs ini bahwa setiap raja yang berkuasa membangun satu candi di Gunung Kidul sebagai pengakuan atas kekuasaannya di tanah Jawa maka lebih spesifiknya gambaran candi-candi yang dibangun di daerah ini mirip persiapan tempat kediaman masing-masing raja di Khahyangan, hal ini nampaknya mendekati penggambaran lokasi khayangan para dewa di mana setiap dewa memiliki istananya masih masing di kahyangan.

Tentu kita berpikir seandainya Gunung Kidul/Duksinarga disamakan dengan kahyangan seharusnya situs yang tersebar di wilayah ini berupa candi-candi  yang keindahan dan kekayaan ornamennya sama  dengan candi-candi di wilayah Yogyakarta dan Sleman. Menurut pendapat saya justru hal ini menjadi sebuah kebalikan dari keadaan tersebut  di mana kemewahan adalah hanya di dunia nyata sehingga kemewahan materi yang ditampilkan di candi-candi di wilayah Yogyakarta tidak akan ditemukan di wilayah Gunung Kidul (wilayah tengah), karena orang yang menempati di wilayah ini membebaskan diri dari materi guna mencapai kesempurnaan takdir hidup. Kesempurnaan alam Gunung Kidul/Duksinarga dengan ratusan danau-danau kecil serta hutan-hutanya dilengkapi segenap faunanya  mencukupi sebuah situasi pencapaian jalan ketenangan (samadi). Sementara wilayahnya yang terisolasi akibat dari bentangan sungai Bengawan Solo(purba) dan Maha Bengawan Opak dengan aliran nya yang deras membuat benteng alam yang susah ditembus, tidak semua sisi Bengawan bisa diseberangi, di mana tempat-tempat penyeberangannya (panambang) di jaga serta di puja secara khusus, selain itu juga dibangun pos-pos khusus untuk pengamatan di beberapa perbukitan sekelilingnya yang berupa candi-candi kecil sekaligus sebagai tempat pemujaan.

Jejak – jejak kekayaan alam wilayah Gunung Kidul bagian tengah ini nantinya terlukiskan oleh Tom Pires dengan menyebut Gunung kidul sebagai “Garden of Magic”.

Bukit Nglanggeran, salah satu sudut sejarah Gunung Kidul

Nglanggeran-pic by Handoko

Nglanggeran-photo by http://kalisongku.wordpress.com

badai laut selatan 06 september 2009 Sebelum penulisan post ini, saya ingin mengatakan betapa senangnya saya menemukan data ini, dan seharusnya saudara-saudara saya di Gunung Kidul pun merasakan hal yang sama. Hal yang saya maksud dalam kebahagiaan saya adalah dengan tidak sengaja saya mendapatkan sekilas data bahwa di bukit Nglanggeran, Gunungkidul pernah ditemukan arca perempuan yang mirip Ken Dedes. Seketika itu saya menyimpulkan bahwa arca itu bukan Ken Dedes namun sebagai perwujudan Prajnaparamitha, sebutan untuk wanita utama di dalam agama Buddha. Saya mencoba menelusuri beberapa tulisan independent mengenai keadaan bukit Nglanggeran, jujur saja walau saya adalah anak Gunung Kidul namun belum pernah saya ke tempat itu, akhirnya dengan mengandalkan beberapa tulisan tersebut saya mencoba merangkum dan menyimpulkan dari apa yang saya bisa temukan. Bukit Nglanggeran, adalah kawasan perbukitan bebatuan yang banyak disebut sebagai gunung api purba, dan sempat menjadi sorotan setelah terjadi gempa di wilayah Yogyakarta karena bukit itu menyemburkan gas belerang, dari situlah mulai disimpulkan bahwa bukit Nglanggeran adalah bekas gunung api purba. Saya terpana dengan data ini, karena sebelumnya saya menuliskan mengenai kesalahan pengartian dan penyebutan Gunungkidul di dalam semboyan nya yaitu Dhaksinarga Bhumikarta yang terdiri dari rangkaian kalimat Dhaksina berarti selatan, arga adalah gunung, bhumi adalah tanah,karta berarti makmur dengan penggabungan kalimat terbut maka bermakna “Gunungkidul tanah makmur”, sementara saya sendiri menyimpulkan(dengan bantuan sumber data) bahwa penyebutan dhaksinarga adalah kurang tepat, sebab seharusnya dhaksinarga itu adalaj dhuksinarga , dhuksina berarti masa lampau, arga adalah gunung, dengan demikian merujuk arti “gunung purba” tersebut, dengan fakta geologi bukit Nglanggeran inilah saya semakin kuat bahwa dhuksinarga adalah yang paling tepat untuk Gunungkidul. Jika bukit Nglanggeran dianggap sebagai guning api purba maka sebenarnya seluruh cekungan wonosari yang disebut zona ledok adalah total wilayah kaldera gunung api yang sebenarnya. Kita sebaiknya tidak membayangkan bahwa gunung ini adalah sebuah gunung yang menjulang tinggi seperti gunung Merapi atau Semeru, namun sebaiknya kita menggambarkan sebuah gunung yang terdiri dari perbukitan yang ditengahnya magma, akan lebih mirip kita menyebutnya seperti Gunung Kelud di daerah Jawa Timur, namun karena sudah lama tidur maka wilayah kaldera ini menjadi hutan dan berdanau luas, yang akhirnya mengering dan ditempati penduduk sampai saat ini. Kembali mengenai keberadaan arca Prajna Paramitha tersebut, seperti penulisan blogs saya mengenai fungsi Gunung Kidul di masa lalu, dimana setiap raja yang berkuasa akan membangun 1 candi untuk menunjukkan keberadaannya , maka sepertinya keberadaan arca ini juga berlaku sama. Lantas siapa yang diarcakan dalam perwujudan Prajnaparamitha tersebut? Melihat fakta bahwa arca tersebut adalah Prajnaparamitha, saya mencoba menelusur ke belakang sejarah tanah Jawa khususnya bagian tengah, dan sosok yang saya dapatkan adalah Pramodhawardhani, putri mahkota dari Raja Samaratungga, penguasa kerajaan Mataram kuno dari dinasti Syailendra. Saya berani menyimpulkan demikian karena sosok inilah yang cocok karena Pramodhawardhani adalah wanita yang cukup berpengaruh dan beragama Buddha, sebab jika saya menunjuk Ratu Shima, beliau adalah ratu beragama Hindu, sedangkan sosok lain wanita semasa Kedhiri ataupun Majapahit, agak susah dikaitkan, karena rata-rata beragama Hindu dan pada masa tokoh-tokoh ini Gunungkidul telah lama tidak difungsikan semenjak Raja Jayabhaya melakukan pemujaan atas robohnya wilayah ini. Sementara itu menurut saya Pramodhawardhani menjadi wanita utama terlihat dari sebuah prasasti yang menyebutkan dirinya beserta ayahnya meresmikan bhumi shambara, tidak mungkin seorang putri tanpa peran pemerintahan ikut dicantumkan dalam sebuah prasasti apalagi menyebut sebuah peresmian bangunan yang sangat megah, sambhara budura. Kemungkinan besar penempatan arca ini di bukit Nglanggeran bukan pada masa Samaratungga berkuasa, melainkan pada masa Rakai Pikatan di mana Pramodhawardhani adalah permaisurinya. Hal ini terlihat dari tidak ditemukannya reruntuhan candi di wilayah bukit Nglanggeran, melainkan arca di tempat tertinggi dari Gunungkidul, selain itu perlu diketahui dengan posisi bukit Nglanggeran berada di sisi utara Gunungkidul maka secara garis kosmis menunjukkan berada di sisi kiri karena posisi penguasa utama berada di tengah menghadap ke timur. Dengan demikian secara logika, arca wanita yang berada di sisi utara wilayah Gunungkidul adalah orang nomor 2 dalam pemerintahan yang berkuasa, dengan posisi utara pula nampaknya Rakai Pikatan kembali menempatkan istrinya sebagai seorang ratu dalam agama Buddha yang dipeluk istrinya sejak lama, karena perwujudan istrinya dalam agama Hindu telah Rakai Pikatan tunjukkan dalam perwujudan Durga Mahisasura Mardini di dalam candi Prambanan.. Sementara alasan mengapa arca ini ditempatkan di Gunungkidul yang notabene adalah wilayah candi pengakuan keberadaan para raja penguasa adalah bahwa Pramodhawardhani adalah seorang putri mahkota yang sebelum menikah dirinya juga berkuasa dan begitu juga pada saat menikah dengan Rakai Pikatan dirinya masih memiliki peran di pemerintahan, dan yang perlu diingat adalah arca Prajnaparamitha sebagai perwujudan dari Pramodhawardhani di bukit Nglanggeran, Gunungkidul adalah sebuah persembahan atas nama cinta dari seorang raja besar pemersatu dua wangsa yang berbeda agama, wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya yaitu Rakai Pikatan. Di sela-sela pemikiran saya di atas, terlintas pemikiran bahwa keberadaan arca tersebut adalah sebuah pengunci atas tanah yang ditempatinya, tentunya dahulu kala perlu banyak pertimbangan untuk pemilihan ini. Perlu saya tekankan bahwa bukit Nglanggeran adalah bekas gunung berapi purba, saya rasa pada saat penempatan arca ini bukit tersebut masih aktif atau setidaknya masih mengeluarkan kekuatannya, dengan ditempatkannya arca tersebut terbayang di benak saya bahwa Rakai Pikatan berusaha menyeimbangkan kekuatan gunung api ini, seperti sebuah pengakuan kekuasaan hampir mirip dengan Raja Mataram Islam menempatkan Nyai Gadhung Melati sebagai pemelihara kesuburan gunung Merapi. Jika saya simpulkan maka sebenarnya bukit Nglanggeran adalah sebuah situs kuno yang keberadaanya belum diketahui, entah mungkin karena di sana tidak ada reruntuhan candi sehingga penduduk di situ tidak peduli kalau di situ sebenarnya ada sebuah rahasia besar menanti. Siapakah yang akan menemukannya dahulu? Adalah tantangan putra-putri Gunungkidul untuk menyingkap kekayaannya….ataukah anda yang mencintai sejarah Jawa….

Gunung Kidul di usia 5000 tahunnya

badai laut selatan 27 mei 2009

Penulisan ini dipersembahkan kepada Sang Jagad Girinatha

Tentunya kita masih ingat dengan bencana gempa mei 2007 terdahulu, apakah dampak gempa ini terhadap tanah jawa dan daerah sekitar gempa pada khususnya.
Mengikuti peristiwa masa lampau Gunungkidul bahwa daerah ini merupakan sebuah daerah pemujaan, tempat sumber air suci pertemuan semua unsur tiba tiba harus dihancurkan dengan sebuah kidung mantra oleh para agamawan yang dipimpin langsung oleh Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pring reketeg gunung gamping ambrol…..tentunya dengan suatu alasan yang jelas bahwa daerah Gunungkidul harus menerima perlakuan demikian.
Sebagai daerah pemujaan lama kelamaan telah hilang unsur kesakralannya, dengan semakin banyaknya tempat pemujaan yang sedikit meleset dari aturan baku alam sehingga membuat yang berkuasa pada saat itu (Sri Aji Jayabhaya) memutuskan sudah saatnya Gunungkidul ditinggalkan, terlepas dari itu Gunungkidul memang harus mengikuti kodrat alam Tanah Jawa.
Dan kelak beberapa ribu tahun mendatang (kurang lebih 5000 tahun hitungan jawa) Gunungkidul baru akan kembali seperti sediakala.
Jika diakhirinya Gunungkidul dalam fungsi sejarah Jawa dengan ambrolnya daerah tersebut maka kembalinya Gunungkidul menjadi daerah yang diperhitungkan kembali adalah dengan peristiwa serupa beberapa ribu tahun lalu, dan gempa 2007 yang lalu adalah layak dijadikan tolak ukur penulisan blogs ini.
Menurut pengamatan saya ketika pulang ke Gunungkidul pada saat setelah gempa, daerah sepanjang tebing tepat di dekat tugu perbatasan wilayah Gunungkidul dengan Bantul, tanahnya telah patah sekitar 5-10cm yang menyebabkan mobil yang kami pakai terguncang samapi lampu depan mobil putus(jadi bisa dibayangkan seberapa dalam tanah amblas), saat ini patahan tadi tidak terasa lagi karena sudah ditambal, namun layak diingat bahwa hal semacam ini harus diwaspadai untuk keadaan mendatang.
Adalah pemikiran saya sebagai anak yang lahir di Gunungkidul dan besar juga orang tua masih di Gunungkidul untuk membahas pentingnya hal ini. Secara disiplin ilmu yang berkaitan dengan hal tanah tidak saya miliki, namun intuisi lah yang memaksa dalam penulisan pemikiran ini.
Kemungkinan secara disiplin ilmu hal ini kecil bahwa Gunungkidul akan mengalami guncangan hebat nantinya, namun saya mengingatkan terhadap diri saya sendiri dengan pola pergerakan alam, bahwa Gunungkidul akan runtuh terutama di sisi barat adalah sangat munkin bagi saya, dengan pertimbangan selama ini pintu gerbang utama Gunungkidul adalah melalui sisi barat, semua unsur penguasa baik secara pengakuan pemerintah maupun sosial lain selalu dari arah ini, bagaimana dengan masa lalu waktu itu?
Pada zaman keemasannya Gunungkidul memiliki 3 pintu, 1 pintu utama dan 2 pintu tambahan. Pintu utama difungsikan untuk penguasa tertinggi(raja) lewat memasuki daerah ini yaitu pintu gerbang timur, mengapa harus sisi timur sebagai gerbang utamanya? Kita harus kembali memaknai bahwa dalam kosmologi Jawa (dan banyak daerah lainnya) arah dibagi 5 dengan sebutan papat(4 untuk jw) kiblat limo(5 untuk jw) pancer, dan sisi timur memegang unsur awal kehidupan, maka dengan timur sebagai pintu utamanya dianggap raja yang memasukinya adalah penguasa atas awal kehidupan daerah di dalamnya, dan timur sebagai gerbang kunjungan resmi seorang Raja sehingga kekuasaan raja mutlak untuk hal di sekelilingnya, dengan demikian sabda Raja untuk mengembalikan masalalu Gunungkidul dimuali dari seorang Raja yang memasuki Gunungkidul dari pintu gerbang utama timur.
Seandainya wilayah perbukitan sisi barat Gunungkidul runtuh kemungkinan besar masih bisa dilalui namun kemungkinan besarnya belum bisa dimasuki dengan kendaraan, hal ini berkaitan arah barat adalah pintu belakang, pintu yang dipakai oleh pengurus rumah tangga dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, jika raja memasuki dari sisi barat, maka dipastikan raja bukan dalam status resmi, sehingga perintah yang bersifat fundamental biasanya tidak akan disabdakan, selain itu jika raja secara. resmi memasuki pintu barat maka bisa dikatakan raja sebagai penguasa kematian mendatangi tempat tersebut.
Sementara itu dari sisi utara adalah pintu gerbang ke 3, pintu gerbang ini dipakai sebagai pintu samping untuk prosesi pengambilan air suci sebagai penyucian jenazah para raja utama di Tanah Jawa sebelum diperabukan, sementara tempat perabuannya sendiri adalah di komplek Candi Ratu Boko, sementara keberadaan Banyunibo yang relatif dekat dengan pegunungan sisi utara Gunungkidul (zona baturagung) difungsikan sebagai pemujaan terhadap keberadaan air di Gunungkidul agar tidak meruntuhkan dinding pegunungan yang waktu itu sedikit membentuk celah mata air.
Satu hal yang menarik mengenai gerbang timur ini, mengacu ke cerita masuknya kembali orang-orang ke Gunungkidul pada masa keruntuhan Majapahit dimulai dari sisi timur, sementara dalam perjanjian Giyanti mengenai pembagian wilayah kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat dengan kerajaan Surakarta Hadiningrat, penguasaan daerah Gunungkidul sepertinya disengaja dengan pertimbangan bahwa kemunculan daerah Gunungkidul nantinya tidak terlepas dari kekuasaan Yogyakarta bukan dibawah kekuasaan Surakarta, sebuah politik sejarah yang harus dikaji kembali.

masa runtuhnya wilayah Gunung Kidul

Sebelum membaca post ini, sebaiknya membaca posting saya sebelumnya, Jika membaca posting saya tentang “tembang itu ternyata sebuah mantra” pasti akan bertanya kepada saya kapan itu terjadi? Pada mulanya daerah Gunungkidul yang disakralkan sebagai tempat pemujaan terhadap sang Hyang Tunggal, dengan fakta banyaknya ditemukan situs kepurbakalaan, selain itu Gunungkidul memiliki hubungan dengan situs candi Ratu Boko. Ketika Seorang raja wafat(tapi tidak mukhsa) jenazahnya tidak bisa dibakar sembarang tempat karena Raja adalah sebagai titisan dewa, maka pada saat itu jenazah diperabukan di Ratu Boko(itu sebabnya candi tersebut dinamakan ratu boko, raja alam baka/kematian). Sedangkan hubungannya dengan candi tersebut, disebutkan Gunungkidul memiliki sebuah sumber mata air yang disucikan dengan demikian lengkaplah bahwa fungsi candi Ratu Boko sebagai tempat perabuan. Ketika kompleks percandian di gunungkidul ini semakin tidak tertata(dalam arti tidak tertata nya pada masa lalu berbeda dengan tidak tertatanya pada masa sekarang), maka diakhirilah keberadaan Gunungkidul dalam fungsinya sebagai daerah pemangku kesakralan tersebut, dengan diiringi mantra pring reketeg gunung ganping ambrol-bambu bergemeretak seiring terguncangdan runtuhnya gunung kapur. Dengan runtuhnya gunung kapur(Gunung Kidul) maka mengeringlah sumber air suci tersebut, dengan demikian tempat pembakaran jenazah tidak mendapatkan air untuk mensucikan jenazah para raja yang wafat. Perlu dicatat bahwa tidak sembarang tempat bisa dipergunakan sebagai tempat pembakaran jenazah raja. Kapan? Dari sumber bacaan yang saya dapatkan, yaitu serat Dharmagandul, diceritakan bahwa Sabdapalon menyebutkan bahwa tempat pembakaran jenazah yang dibangun oleh Sri Aji Jayabaya di daerah kekuasaan Kedhiri, dengan sumber airnya dari daerah batu. Dan data ini dibenarkan oleh sumber data. Dengan demikian saya berani menarik kesimpulan : Pada saat pemerintahan Sri Aji Jayabaya, beliau sempat mengunjungi wilayah Gunungkidul dan tidak berkenan hatinya tentang kesemrawutan kompleks percandian di Gunungkidul, tempat yang harusnya berdiri sesuai kaidahnya semakin jauh tidak karuan, dengan bantuan para agamawan pada masa itu maka secara spiritual dirobohkanlah bangunan percandian setelah robohnya kompleks ini, Gunungkidul menjadi tempat yang ditinggalkan, tak terurus dan menjadi hutan lebat dan angker. Sementara itu untuk menggantikan keberadaan candi Ratu Boko maka dibangunlah sebuah tempat pembakaran jenazah di daerah Kediri dan itu berlaku sampai masa berakhirnya masa kejayaan berakhir (bergantinya hindu ke islam).

tembang itu ternyata sebuah mantra untuk Gunung Kidul

badai laut selatan 29 juni 2008 pernahkah kita sewaktu kecil mendengar senandung tembang “PRING REKETEG GUNUNG GAMPING AMBROL” jika aku terjemahkan “batang pohon ambu bergemeretak, maka runtuhlah gunung kapur”

Bambu yang sebagai simbol kekuatan dan kemandirian hidup takkan patah walau diterpa angin kencang, dari rebung sampai daunya serba dimanfaatkan, memiliki sifat ulet hampir sejajar dengan fungsi pohon pisang.

Pring reketeg gunung gamping ambrol sebuah tembang lama yang dulu sering ditambahi kalimat-kalimat seronok ternyata mempunyai makna besar dalam sejarah Gunungkidul.Ketika pada masa lalunya(seperti yang pernah saya tulis sebelumnya) ama kelamaan pembangunan percandian didaerah Gunung Kidul hampir bisa dikatakan tak terkontrol, tidak mungkin candi baru dibangun di atas candi sebelumnya, ajhirnya berceceranlah (walau mungkin tidak seperti konotasi keadaan sekarang), hal ini membuat perasaan Sang Girinata tidak berkenan, sekian lama ditinggalkan ternyata keadaan Gunung Kidul justru makin runyam sebagai fungsi tempat pendharmaan.Sekain itu mungkin saatnya bahwa Gunung Kiduk ditinggalkan dan tempat pemujaan dipindah ke tempat lain sesuai kodrat alam.

Maka diputuskanlah bahwa Gunung Kidul harus ditinggalkan, dengan pertanda bangunan-bangunan percandian harus segera dirobohkan, dikerahkanlah para pendeta baik Syiwa maupun Budha, di gemakanlah mantra “pring reketeg gunung gamping ambrol…….” berkali-kali, maka berguncanglah bumi, bergetarlah tanah Gunung Kidul, dan ratalah bangunan-bangunan percandiannya.

Dari informasi yang saya rangkum saya menyimpulkan bahwa runtuhnya candi-candi ini tidak secara perlakuan langsung oleh tangan manusia, sebab manusia tidak berhak merusak bangunan-bangunan tersebut mengingat bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada Hyang Agung sebagai bukti kepada dunia bahwa telah berdiri seorang raja memegang kuasa atas manusia mewakili para dewa di tanah Jawa.

Dari peristiwa tersebut maka keadaan di Gunung Kidul mulai ditinggalkan dan tidak lagi dipakai tempat pemujaan lagi, menjadi alas gung liwang-liwung namun segaka kesuburan ditanah tersebut masih ada dalam jangka waktu yang lama,

Satu hal yang masih bisa saya pegang bahwa berakhirnya fungi Gunung Kidul adalah secara terhormat, tidak ada campur tangan invasi tangan jahat, tetapi berhenti sesuai kodrati sebagai tanah penyangga bangunan suci.Duksina Bhumikarta.

sejarah Gunung Kidul menurut data ku

badai laut selatan 16 desember 2007 Berikut ini kutipan sejarah Gunung Kidul dari situs resmi pemerintah kabupaten Gunungkidul
sumber data: http://www.gunungkidulkab.go.id/?mode=detail_menu&id=6
—–Adanya sebagian pelarian dari Majapahit yang kemudian menetap di Gunungkidul, diawali dari Pongangan Nglipar dan Karangmojo, maka perkembangan penduduk di Kabupaten Gunungkidul pada waktu itu cepat di dengar oleh Raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro. Pada saat itu Sang Raja langsung mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran berita tersebut. Setelah datang ke Gunungkidul, ternyata benar bahwa di Gunungkidul telah banyak dihuni orang-orang pelarian dari Majapahit, antara lain Ki Suromejo.
Tumenggung Prawiropekso kemudian menasehati pada Ki Suromejo untuk meminta ijin dulu dengan Raja Mataram di Kartosura,karena daerah ini termasuk wilayah kekuasaan Raja Mataram. Namun tidak digubris, sehingga menimbulkan perselisihan. Perselisihan itu menyebabkan Ki Suromejo dan keluarganya,yaitu Ki Mintowijoyo,Ki Poncobenawi,Ki Poncosedewa (anak menantu) terbunuh, dan Ki Poncodirjo akhirnya menyerahkan diri.
Oleh Pangeran Sambernyowo, Ki Poncodirjo diangkat menjadi Bupati Gunungkidul I, namun tidak lama menjabat. Dikarenakan adanya penentuan batas daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831,maka Gunungkidul yang dikurangi Ngawen sebagai enclave Mangkunegaran telah menjadi daerah kabupaten.
Menurut buku “PEPRENTAHAN PROJO KEJAWEN” karangan Mr.Raden Mas Suryadiningrat,berdirinya Kabupaten Gunungkidul yang telah memiliki sistem pemerintahan itu, ternyata bersamaan dengan tahun berdirinya daerah-daerah lain di wilayah Yogyakarta, yaitu setahun setelah selesainya perang Diponegoro. Perbedaan yang ada hanyalah untuk pemberian sebutan kepada para pengageng atau penguasa, seperti untuk daerah Denggung yang sekarang Sleman, kemudian daerah Kalasan serta daerah Bantul dengan sebutan Wedono Distrik,sedang untuk wilayah Sentolo dan Gunungkidul dengan sebutan Riyo.
Untuk Kabupaten Gunungkidul,setelah melalui berbagai upaya yang dilakukan oelh panitia untuk melacak Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang dibentuk pada tahun 1984,baik yang terungkap melalui fakta sejarah,penelitian dan pengumpulan data dari tokoh masyarakat berhasil menyimpulkan bahwa hari lahir Kabupaten Gunungkidul adalah Hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau Tahun Jawa 15 Besar Tahun Je 1758.
BUPATI YANG PERNAH MEMIMPIN KABUPATEN GUNUNGKIDUL
1. Mas Tumenggung Pontjodirjo
2. Raden Tumenggung Prawirosetiko
3. Raden Tumenggung Suryokusumo
4. Raden Tumenggung Tjokrokusumo
5. Raden Tumenggung Padmonegoro
6. Raden Tumenggung Danuhadiningrat
7. Raden Tumenggung Mertodiningrat
8. KRT.Yudodiningrat
9. KRT.Pringgodiningrat
10.KRT.Djojodiningrat
11.KRT.Mertodiningrat
12.KRT.Dirjodiningrat
13.KRT.Tirtodiningrat
14.KRT.Suryaningrat
15.KRT.Labaningrat
16.KRT.Brataningrat
17.KRT.Wiraningrat
18.Prawirosuwignyo
19.KRT.Djojodiningrat,BA
20.Ir.Raden Darmakun Darmokusumo
21.Drs.KRT.Sosrodiningrat
22.Ir.Soebekti Soenarto
23.KRT.Harsodingrat,BA
24.Drs.KRT.Hardjohadinegoro (Drs.Yoetikno)
25.Suharto,SH (Bupati saat ini)
APAKAH SEBELUM PELARIAN MAJAPAHIT GUNUNGKIDUL TANPA PENGHUNI?
Adalah suatu kalimat motto DHAKSINARGA BHUMIKARTA dari kata sansekerta (sanskrit) yang berarti dhaksina=selatan, arga=gunung, bhumi=tanah,daratan . karta=makmur,sejahtera.
Sekilas tidak tampak suatu hal yang mencolok dari kalimat tersebut sebab memang kalimat itu mengacu kepada arti tentang Gunung Kidul. Tapi jika kita melihat dari sisi sejarah Gunungkidul di awal peradaban modern manusia (pasca kepurbaan) akan nampak jelas perbedaan makna pembentukan dari kata dhaksinarga.
Berawal dari pembicaraan tentang banyaknya situs yang tersebar di Gunung Kidul, serta browsing data yang pernah dilakukan juga beberapa sumber tertulis bahwa situs yang kini bisa dilacak ada keunikan yang belum bisa disimpulkan dari masa kapan dibangun. Dari data yang saya dapatkan secara lisan tersebut terungkap sebenarnya situs ini jauh lebih banyak dari yang saya kumpulkan(25 situs).
Pada masa lampau di Gunungkidul fungsi keberadaan candi berbeda dengan candi candi yang sekarang ada, seperti diketahui bahwa candi candi sekarang ini difungsikan sebagai tempat abu jenazah atau sebagai tempat peribadatan. Sedangkan untuk candi di Gunungkidul yang sekarang tinggal berbentuk situs (reruntuhan)konon difungsikan sebagai simbol atas berkuasanya seorang raja atas tanah Jawa. Sumber data menyebutkan bahwa daerah Gunungkidul memiliki letak kosmis tertentu di mana tidak dimiliki oleh daerah lain, selain dijadikan sebagai simbol atas kekuasan (proclamation), candi difungsikan sebagai simbol bahwa raja memuja sang Pencipta..
Sejak dimulainya sebuah peradaban non purba, tempat ini(Gunungkidul) telah dianggap suci sebagai tempat pemujaan yang diwingitkan.Mulai dinasti Sanjaya di jawa tengah sampai dengan pertengahan dinasti Isyana.Yang menarik dari hal ini adalah jika sebagai tempat penanda suatu kekuasaan berarti Gunungkidul tidak ada suatu keterikatan atas suatu kekuasaan selain kepada tanah Jawa itu sendiri,  tidak ada suatu batasan bahwa candi candi tersebut tidak terikat oleh suatu agama, antara candi Budha dan Hindu keduanya sama-sama berdiri, oleh sebab itu situs situs ini nantinya beragam bentuknya sesuai ciri agama yang dipeluk oleh pendiri yang berangkutan, hal ini tentunya wajar mengingat raja-raja di tanah Jawa memeluk agama yang berbeda-beda antara Budha dan Hindu.
Dalam hal persaingan tentulah ada, dari generasi ke generasi raja, para raja satu dengan yang lainnya memberikan yang terbaik, baik dari bahannya maupun teknologi pembuatannya, sehingga ada kemungkinan material bangunan bisa didatangkan dari daerah lain, sehingga saat ini bisa ditemukan beberapa bangunan dari batu putih/batu kapur tetapi ada juga tang terbuat dari batu bata.
Memang hal ini sulit kita terima, namun jika kita melihat keadaan sekeliling mulai dari sejarah terjadinya Gunungkidul yang memang merupakan bekas gunung berapi purba di tambah pasca ledakan merapi purba,banyak yang terpendam di sini. Juga kita harus mengkaji bagaimana terciptanya sebuah hutan jati di Gunungkidul sebelum kolonial, serta ungkapan Junghuns tentang garden magic, dimana dirinya duduk di hamparan padang sambil memandang lebatnya hutan, jika Junghun yang notabene sering dijadikan acuan sejarah, bisa dijadikan juga referensi pula tentang keadaan waktu itu dengan menarik ke belakang garis waktu.
Tidak bisa dibayangkan Gunungkidul yang saat ini tandus, pada masa lulunya berhiaskan puluhan candi .Inilah Gunungkidul masa lalu, yang kini menyebut dirinya sebagai Dhaksinarga Bhumikarta, dimana makna sebenarnya adalah Duksinarga Bhumi Karta, daerah/gunung masa lalu yang memiliki tanah makmur.

Ternyata di Gunungkidul terdapat sekurang-kurang 25 situs(bekas candi), melebihi yang aku kira

peta sebaran situs candi di Gunung Kidul

peta sebaran situs candi di Gunung Kidul

badai laut selatan 09 november 2007 Berapa banyak candi yang pernah berdiri di Gunungkidul? Jawabnya ..ratusan …dengan expresi aneh, atau malah nggak tahu, emang di Gunungkidul ada candi?….dengan expresi bingung dan tawar… Beberapa waktu lalu pernah saya menulis blog tentang candi kuno di blogs ini(silakan baca jika tertarik), karena bingung mau menulis post apalagi, saya mengumpulkan data ulang tentang situs yang pernah ada, kebetulan tidak di muat secara pastinya, akhirnya terkumpul juga walau tidak selengkap yang saya inginkan. Sebenarnya saya sendiri belum pernah melihat secara langsung bentuk situs percandian ini, namun dengan ini setidak – tidaknya saya mempunyai tujuan untuk penulisan blogs ini selanjutnya. Namanya juga situs, tentunya keadaannya tidak seperti kita membayangkan candi prambanan atau borobudur yang telah berdiri tegak, namun situs adalah berupa reruntuhan. Ada yang unik dari bekas candi ini di mana material bangunannya dari batu kapur, dimana jarang terdapat dikebanyakan kebudayaan sebelumnya. berdasarkan data yang saya kumpulkan (sebab tidak ada buku yang mengulas secara penuh- ada satu yang pernah saya baca di museum nasional-jkt), tetapi dari data yang saya dapat ini ternyata lebih banyak lagi dari yang dibukukan. Penyebaran situs ini hampir disetiap kecamatan, yaitu:

1. Kecamatan Playen:

a.candi plembutan

b.candi papringan….ditemukan arca namun bentuknya kurang jelas dan terkesan belum selesai

c.situs bleberan

d.situs kepil

2. Kecamatan Wonosari

a.situs Ngawu berupa reruntuhan

b.situs Pulutan berupa reruntuhan dan yoni berupa umpak batu putih

c.situs Kajar

d.situs Wareng

3. Kecamatan Paliyan

a.situs Giring berupa fragmen kemuncak, fragmen puncak stupa dan reruntuhan batu putih

4. Kecamatan Semanu

a.situs Pacarejo berupa reruntuhan, arca Nandi, Ganesha, dan fragmen arca lain.

b.situs Dengok

5. Kecamatan Karang Mojo

a.situs Ngawis : reruntuhan, umpak, fragmen arca

b.situs Bejiharjo : arca nandi, fragmen arca, reruntuhan

c.situs Wiladeg :arca nandi,batu komponen candi, fragmen antefik

d.situs Jatiayu : fragmen arca

e.situs Nglemuru : arca ganesha, durga, yoni dan komponen candi tapi dari batu bata

f.candi konengan, Ngawit

g.situs Ngluweng

6. Kecamatan Ngawen

a.situs Watusigar

b.situs Kampung : arca agastya,umpak, fragmen kemuncak, sisa komponen candi

c.situs Gedhangan

7. Kecamatan Semin

a.candi Risan : reruntuhan, arca awalokiteswara, makara, fragmen arca, antefik, dan yasti

b.situs Bendung : fragmen kemuncak, yoni

c.situs Sumberejo

8. Kecamatan Ponjong

a.situs Genjahan : fragmen batu candi dan yoni

Dalam menyebutkan situs mungkin saya terjadi kebalikan tempat namun sekitar 15%

SUMBER DATA:

*  Andi Putranto, Jurnal Humaniora Vol XV, No.2/2003

* beberapa website

note: untuk foto lihat post saya yang lain

siapa yang mencuri, dialah yang telah menggali kuburnya sendiri

Sejumlah Bangunan Candi Rusak dan Hilang Yogyakarta, Kompas -Sejumlah bangunan candi yang ada di DIY tak terawat dan rusak parah. Bahkan, sebagian arca yang menjadi kelengkapan bangunan candi atau situs itu tidak lengkap lagi karena dicuri. Demikian dipaparkan fotografer Sintia Windhi Niasari dalam pembukaan pameran foto Pesona Sejarah Masa Klasik, Kamis (6/7). Pameran yang berlangsung dua hari itu diselenggarakan di Balai Kunti, Mandala Bhakti Wanitatama. Sintia mencontohkan tiga arca Candi Dengok di Dusun Dengok Lor, Gunung Kidul, yang hilang dicuri orang. Ketiga arca itu adalah arca Airlangga atau arca Dewa Siwa, arca Sapi atau arca Nandi, dan arca Roro Jonggrang atau arca Durga. “Ketika saya bertemu dengan kepala dukuh di situ, ketiga arca sudah tidak ada lagi karena dicuri orang. Akhirnya, saya hanya bisa memotret batu-batu yang merupakan sisa dari situs ini,” ucap Sintia, yang memotret Candi Dengok awal tahun ini. Candi Risan yang terletak di Kecamatan Semin, Gunung Kidul, juga berada dalam posisi rusak. Struktur candi ini sudah tidak beraturan lagi. Arca yang tersisa hanya beberapa saja, termasuk arca Buddha. Sintia mengatakan, dari literatur yang diperoleh serta percakapan dengan dosen-dosen arkeologi, kondisi candi pada masa klasik- atau abad ke VIII hingga X-rata-rata tidak terawat dan rusak berat. Tak dipagari Dari 31 candi masa klasik yang dipotret Sintia, sebagian besar diantaranya tidak dipagari dan tidak ada yang dipercaya untuk merawat situs ini. Tak heran bila pencurian batu-batu arca yang merupakan peninggalan bersejarah ini terjadi dengan mudahnya. Sebagian besar candi masa klasik ini berada di wilayah Provinsi DIY dan sebagian lagi di Jawa Tengah. “Kondisi candi atau situs klasik ini berbeda dengan situs masa prasejarah atau masa klasik akhir, yang relatif lebih terawat,” kata Sintia. Ia mencontohkan Candi Mangir yang merupakan situs dari masa klasik akhir di Bantul yang dipagari masyarakat setempat. Pagar itu bahkan terbuat dari kaca. Di sisi lain, peninggalan bersejarah ini merupakan aset daerah yang sangat berharga serta berpotensi untuk dikelola menjadi obyek wisata. Salah satu harapannya, pameran foto kali ini bisa berperan sebagai media informasi dan pengetahuan tentang adanya sejumlah situs bersejarah di Yogyakarta, yang kemudian berkembang menjadi pemikiran untuk perawatan sekaligus pengelolaan situs ini. (ART) kompas Jumat, 07 Juli 2006

Daya Adaptasi Penghuni Lembah Karst (kompas 28 agustus 2006)

Sejak awal penghunian 12.000 tahun lalu hingga di zaman modern ini, masyarakat Gunung Kidul—di wilayah DI Yogyakarta sekarang—agaknya tidak berubah. Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sebagai kaum pengembara rupanya merupakan benang merah identitas mereka.

Bahkan, ketika alam tak lagi mendukung, daya adaptasilah yang menghasilkan kelompok manusia itu menyebar di sekitar bukit-bukit karst (kapur) yang tandus di daerah itu.

Bakat ini melekat semenjak kedatangan manusia pertama di Gunung Kidul, yaitu ras Australomelanesid yang bermigrasi dari Pegunungan Sewu di Pacitan (Jawa Timur) melewati lembah-lembah karst Wonogiri (Jawa Tengah) hingga mencapai pesisir pantai selatan Gunung Kidul melalui jalur Bengawan Solo purba. Diperkirakan ini berlangsung mulai akhir periode pleistosen.

Jalur Sungai Bengawan Solo purba yang telah mengering setelah mengalami tiga kali pengangkatan pada jutaan tahun sebelumnya menjadi jalur masuk menuju Gunung Kidul. Anak- anak sungainya sebagai jalur menuju ke goa-goa sebagai hunian baru di kawasan pedalaman.

Temuan Tim Arkeologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pertengahan Juli dan Agustus lalu, membuktikan akan kemampuan adaptasi para pengembara purba muda ini, yang agaknya berlanjut hingga keturunan-keturunannya di masa modern sekarang ini.

Selain pola diet, yaitu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan alam, adaptasi ditunjukkan melalui sejumlah ritual tradisi, misalnya berupa syukur panen, doa minta hujan, dan kegiatan mengultuskan tempat-tempat yang dianggap keramat. Tradisi itu masih terus dilakukan hingga kini.

“Dari segi historis dan kultural ada kesamaan antara para pendatang (manusia purba) dan manusia Gunung Kidul yang sekarang. Inilah yang mendorong asumsi bahwa manusia Gunung Kidul memang keturunan para pengembara dari Pacitan,” papar Susetyo, dosen Arkeologi UGM, memaparkan hipotesisnya.

Pada tahun 2002, tim UGM menemukan fosil tulang rahang manusia purba muda di Goa Bentar, Kecamatan Ponjong, yang memiliki kemiripan bentuk dengan manusia modern di Gunung Kidul. Fosil itu diperkirakan berusia 7.800 tahun.

Sedangkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sebelumnya menemukan fosil tulang tengkorak dan kerangka manusia purba di Goa Tritis dan Goa Braholo, Kecamatan Tanjungsari, yang diperkirakan berusia 9.000 tahun. Penemuan-penemuan tersebut semakin menguatkan adanya relasi di atas.

Pada ekskavasi di Goa Jebreng, Kecamatan Tanjungsari, pertengahan Juli, ditemukan bekas hunian para migran purba dari Pacitan ini setelah menjelajahi sekitar 80 km dari Pacitan. Kelompok awal ini berhenti sejenak setelah sampai pesisir laut selatan Pantai Kukup.

Di goa yang berjarak hanya satu kilometer dari pantai, komune manusia purba muda atau para penerus Homo erectus (makhluk menyerupai manusia yang berdiri tegak) ini menetap dan membentuk adaptasi diri melalui pola hidup berburu berbagai jenis moluska marine. Ditemukan setidaknya 60 jenis fosil kerang laut, landak laut, dan kura-kura laut di muka goa ini.

Tepat sebulan kemudian, tim bergerak ke Goa Tritis, berjarak empat kilometer dari pantai atau semakin mendekat ke pedalaman. Sejumlah fosil menampakkan perubahan pola diet manusia purba. Tak hanya makanan laut, tim menemukan sisa-sisa tulang rusa dan sapi. Artinya, komune manusia ras Australomelanesid ini juga mengonsumsi sebagian mamalia pedalaman.

Semakin beranjak ke kawasan Gunung Sewu pedalaman, sisa makanan yang telah menjadi fosil ini didominasi jenis mamalia. Namun, ditemukan sebagian kecil moluska laut, menandakan tingginya mobilitas manusia purba ini.

Mereka memanfaatkan lembah-lembah karst sebagai jalur bergerak cepat, termasuk mengeksploitasi berbagai relung ekologis mulai dari pesisir hingga pedalaman. Pakar prasejarah UGM, Daud Aris Tanudirjo, menyebutkan, pola bergerak merupakan keseharian mereka.

Dari keragaman sisa makanan di tiap wilayah, goa tetap menjadi hunian sementara bagi para manusia purba. Setidaknya ini berlangsung selama 6.000 tahun dan selanjutnya mereka kembali meneruskan bakat bermigrasi ke wilayah dataran rendah di utara Gunung Kidul.

Dari sekitar 460 goa karst di Gunung Kidul, hampir setengahnya pernah menjadi hunian manusia purba muda. Pada survei 72 goa horizontal di ujung utara Gunung Sewu, yaitu di wilayah Ponjong yang terapit Ledok Wonosari di sisi barat dan Ledok Baturetno di sisi timur, 14 goa di antaranya merupakan bekas hunian purba, dan dua di antaranya sudah diekskavasi; Song Bentar dan Song Blendrong.

Di sayap barat Gunung Sewu yang berbatasan dengan selatan Ledok Wonosari, disurvei 16 goa sebagai hunian serupa. Pada tahun 2003, tim menyurvei wilayah selatan Gunung Kidul sekitar kawasan Teluk Baron-Kukup, dan menemukan 45 goa; 21 di antaranya memiliki indikasi kuat sebagai bekas hunian.

Jangan bayangkan manusia Australomelanesid memiliki wajah-wajah lugu seperti kebanyakan penduduk Gunung Kidul saat ini. Menurut Susetyo, ras ini memiliki bentuk tengkorak lonjong (dolichocephal) dengan prognatisma yang menonjol pada bagian mukanya (rahang atas dan bawah menonjol ke depan), tulang rahang dan gigi geligi kekar, tulang tengkorak tebal, tulang-tulang anggota tubuh besar, postur tubuh tinggi dan kekar.

Selanjutnya, Daud menyebutkan sebuah teori mengenai evolusi manusia ras Australomelanesid hingga terbentuk ras Mongolid. Evolusi ini menghasilkan ciri baru manusia Gunung Kidul, yaitu memiliki wajah yang tergolong pendek dan sempit tanpa prognatisma, rahang tidak kekar dan gigi geligi relatif lebih kecil dibandingkan denagn ras Australomelanesid. Tulang-tulang dan postur tubuhnya pun lebih kecil. Namun, sejauh ini teori itu masih diperdebatkan para ahli arkeologi.

Pada masa itu, tambah Susetyo, kawasan Pegunungan Sewu merupakan lingkungan yang relatif terisolasi, tetapi kaya akan bahan pangan. Sumber- sumber air pun berkelimpahan, dengan tanaman-tanaman rindang di sekitar cerukan dan sungai-sungai permukaan. Goa memberi jaminan kenyamanan dan keamanan dari ancaman lingkungan di sekitarnya.

Seorang ahli biologi yang melakukan penelitian di Gunung Kidul pada tahun 1830-an pernah menulis mengenai Gunung Kidul pada 200 tahun lalu, “Benar-benar Gunung Sewu ini seperti Taman Firdaus. Vegetasinya serba hijau nan lebat; keindahan alamnya tidak mampu saya lukiskan dengan kata-kata; hutannya yang berisi segala macam pepohonan dan di mana-mana saya jumpai akasia berlatar belakang langit biru yang indah… Sambil mengaso tiduran selonjor di rerumputan hijau, saya nikmati keindahan Gunung Sewu dan dari kejauhan sana kedengaran jelas bunyi genta sapi-sapi yang digembalakan.” (Darmaningtyas, 2002).

Pegunungan Sewu di masa lalu adalah “rumah” yang memberi kenyamanan bagi penghuninya. Namun, seiring perjalanan waktu, keadaannya tidak lagi sama. Eksploitasi alam mengakibatkan hijauan itu berubah menjadi hamparan putih nan gersang.

penulis:irna tambunan

Gunung Kidul Aku menarikmu dari puncak Dieng

badai laut selatan 20 juni 2007 Beberapa hari yang lalu saya menulis post tentang fungsi candi di gk dengan kompleks candi dieng sebagai ilustrasinya, sore saya publish paginya di Kompas di ulas tentang candi dieng, hmmm klop kan. Hehehehe…hehe..

Jika saja keliaran saya dalam berimajinasi benar, setidaknya saya akan kembali mengkait kaitkan informasi yang saya dapat berikut ini, kompleks candi dieng tentunya dahulu kala tidak seperti sekarang ini, tidak hanya sebagai tempat pemujaan, dan barang tentu orang melakukan pemujaan tidak seperti orang yang sehari datang langsung pergi seperti para wisatawan yang berkunjung, melainkan bisa berhari hari. Tentunya untuk menunjang kegiatan ini dibutuhkan bangunan bangunan permanen yang berlaku saat itu, entah itu seperti bangunan tinggal dengan corak khas Jawa. Dan lagi apakah segala sesuatu mengenai candi harus disebut sebagi tempat pemujaan ataupun tempat abu jenazah secara kontekstual, mungkin kah sebuah candi seperti Dieng sebenarnya hanya bagian kecil dari sebuah fungsi unsur bangunan, sehingga tercipta suatu kompleks bangunan yang sangat luas.Keliaran berpkhyal saya mulai mengarah bahwa setiap satu candi di tempat tersebut mewakili sebuah sub fungsi dari sebuah kompleks bangunan, seandainya saya menekankan sub sub fungsi dari fungsi kompleks per kompleks berdasarkan candi maka secara kebetulan kompleks percandian ini semata mata bukan hanya sebagai tempat peribadahan/pemujaan.Informasi yang saya dapatkan menyebutkan bahwa fungsi candi di dieng ini pada masalalu adalah sebagai sebuah tempat yang dikhususkan untuk tempat sekelompok orang khusus dari istana yang mempunyai tugas yang berhubungan dengan keilmuan, stop…bukan ilmu mistik dalam hal ini, karena beberapa orang langsung berpikir namanya ilmu di masa lalau tak luput dari unsur “klenik”, saya dipaksa untuk mengerti bahwa untuk mebangun sebuah candi contohnya, apakah mungkin orang zaman dulu hanya pakai insting semata, jika kita perbandingkan dengan masa sekarang, orang membangun sebiah rumah yang cukup gampang saja harus melakukan penggambaran, membangun tugu peringatan saja butuh waktu berbulan bulan untuk melakukan perencanaan, padahal masih menggunakan perangkat yang canggih(komputer), bagaimana dengan orang dahulu membangun candi yang sedemikian rumit, mulai dari menerima titah, menterjemahkan titah, menggambar/merencanakan, menyelidiki gejala alam agar candi-candi yang akan dibangun tidak rusak akrena gempa atau pelapukan karena usia, perawatan dan sebagainya. Saya rasa info yang saya dapatkan sangat masuk akal, sebab kompleks dieng berada di tengah tengah wilayah Jawa, sehingga segala informasi dan komunikasi yang menyangkut hal ini dapat selalu dipantau dan bisa dibutuhkan kapanpun,hhmmmm

Bagaimana dengan yang ada di Gunungkidul, dimana terdapat sebaran candi yang sekarang ini bangunannya sudah rata dengan tanah,jika melihat kompleks candi dieng, bukan kah cukup alaan untuk menggambarkan ulang kondisi daerah Gunungkidul pada masa lalu!, jika Dieng difungsikan sebagai tempat keilmuan, maka pantaskah saya menyebut bahwa Gunungkidul sebagai tempat keagamaan dan pemujaan, dengan situasi pesisir selatan yang berhawa dingin.

Mari kita berandai-andai, dan menguji keliaran kita.

benarkah saya menarik benang merah

badai laut selatan 06 juni 2007 Sebelum saya menulis post saya tentang “sebatas mencari benang merah”, saya mengunjungi museum Nasional/museum gajah, ada satu hal yang menarik yang tadinya saya tak begitu tertarik apalagi menggabungkan informasinya ke blogs saya. Yaitu sewaktu saya mengunjungi bagian keramiknya, di sana terdapat sebuah benda pada masa Majapahit yang terbuat dari batu putih. Masih terlihat jelas ukiran ukiranyang sangat halus, mengingatkan saya akan kerajinan batu pasa yang beberapa waktu ini menjadi komoditi jual baik secara bahan mentah maupun bahan jadi. Batu paras ini dipergunakan sebagai hiasan/ornamen tembok.Di tempat saya, Gunungkidul, ada beberapa tempat penghasil barang ini, salah satunya adalah dusun Gondhang, Desa Gari.

Saya berpikir, mungkinkah ini adalah prototipe craftmanship dari bangunan situs-situs yang ada di tempat kami.

Jika di Muntilan, Jawa Tengah terdapat para pengrajin dari batu hitam karena berdekatan dengan candi Borobudur, maka layakkah saya berpikir bahwa salah satu tempat di desa saya juga bagian dari adanya situs situs ini, cukupkah saya menyebut beberapa fakta sebagai pendukung semisal, dahulu sebelum tembok rumah dari batu bata dan semen pasir mulai dipergunakan, penduduk di Gunungkidul(beberapa sampai sekarang) untuk fondasinya menggunakan balok dari batu putih yang disebut sebagai giring, juga alas/tatakan tiang yang disebut ompak, ubin atau tegel, juga alat menampung air untuk mandi yang disebut jembangan.Apakah kerajinan batu paras tersebut adalah salah satu unsur detail yang dipakai untuk pembangunan candi/situs ini.Melihat bahwa bangunan candi yang terbuat dari batu putih untuk daerah Gunungkidul kala itu tentunya dibutuhkan suatu teknis khusus dalam proses penggabungan ataupun perawatannya, sebab kala itu Gunungkidul adalah daerah dengan tingkat kelembapan tinggi sebab daerah ini dulunya adalah sebuah daerah subur dan berair, sehingga bangunan yang terbuat dari batu kapur akan rentan dengan proses pelumutan dan pengeropsan akibat air hujan maupun serapan air permukaan tanah. Jadi pihak yang mempunyai inisiatif membangun candi tersebut pastilah memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi kala itu, bahkan sampai sekarang.

Tadinya saya berandai andai, jika jenis barang yang saya lihat di musem Nasional dengan yang ada di Gunungkidul sama, dalam arti bahwa pembangunan nya oleh masa pemerintahan Majapahit, tentulah pihak penguasa memiliki suatu keterikatan khusus terhadap daerah Gunungkidul walaupun terbentak jarak yang sangat jauh waktu tempuhnya, Majapahit berada di Jawa Timur sedangkan Gunungkidul ada di Yogyakarta bagian selatan.Yang semakin menjadi beban ketidak tahuan saya adalah, apa yang membuat keterikatan ini, apakah Majapahit memperlakukan Gunungkidul seperti halnya apa yang di tulis di candi Palah, “marek i jon hyang Acalapati bhakti sadara”, pemujaan terhadap gunung., tentunya saya tidak berani mensejajarkan apa yang dipuja di candi palah dengan pemikiran saya tentang Gunungkidul.

Di email pak Andi Putranto(dosen arkeologi UGM) kepada saya menyebutkan bahwa benda bagian situs yang ada di Gunungkidul berbeda dengan benda yang dari Majapahit, malah tidak mirip dari masa kerajaan yang ada di Jawa Tengah bahkan Yogyakarta sekalipun.

Padahal saya sebelumnya menganggap mendapat titik terang dari pemikiran saya bahwa bangunan itu adalah atas kemauan pemerintah Majapahit, sehingga saya waktu itu menyimpulkan: Gunungkidul adalah salah satu tempat yang dianggap penting pada masa Majapahit, sehingga didirikanlah beberapa candi untuk memuja daerah ini.Selain itu mengingat Majapahit saja yang begitu jauh dari gunungkidul melakukan pembangunan candi maka secara pasti kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit melakukan hal yang kurang lebih sama, sampai jauh sebelum kerajaan-kerajaan lainnya, sehingga di daerah Gunungkidul ditemukan dua peninggalan pada masa yang berbeda yaitu masa klasik tua berupa menhir dan sarkofagus , dan peninggalan pada masa klasik muda berupa bangunan candi.

Namun sampai hari ini saya belum terpikir akan benang merah yang saya cari……

Gunung Kidul, Masa Lalu Yang Terlewatkan

badai laut selatan 04 mei 2007 Situs Wiladeg, Candi Risan, Situs Sokoliman, Situs Ngawit, Situs Dengok, Candi Nglemuru, Situs Gondang, Situs Ganang, Situs Gunungbang, Situs Beji, Kenapa harus saya sebutkan terlebih dahulu kata – kata itu? Tidakkah seharusnya semua orang memandang daerah kami? bahkan kami orang-orang Gunungkidul pun tak banyak mengerti hal ini. Tempat – tempat di atas merupakan adalah tempat tempat peninggalan berupa sisa-sisa bangunan masa lampau yang berbentuk candi atau semacamnya, maka disebut situs karena merujuk suatu tempat(pastilah adalah candi).Ada yang menarik dari tempat tempat ini, yaitu tersebarnya situs/candi ini di sekitar zona perbatasan zona Gunungsewu dengan zona Ledok, selain dari batu putih yang tak kalah menariknya adalah tempat ini bukanlah sebuah candi yang diperuntukkan untuk menempatkan abu jenazah melainkan adalah tempat pemujaan(data dari informasi lisan), mungkinkah candi ini adalah candi perwara atau bangunan pendamping candi induk? hmmm.m..m jika demikian berarti sangat mungkin ada candi induk besar yang belum ditemukan, saya jadi terbayang bisa jadi candi induknya ada di bawah rumah saya, atau sekolahan saya, dimanapun itu adalah sebuah ketidakpastian. Lantas apa yang dipuja dari candi candi ini, karena setidak tidaknya zaman dahulu candi juga dipakai untuk menandai daerah secara khusus. Sekarang kita tinggalkan sejenak kebingungan di atas, kita alihkan ke Candi Ratu Boko, candi ini disalah artikan sebagai keraton Ratu Boko, ayah dari Roro Jonggrang, ada juga yang menyebut sebagai benteng pertahanan.Dari informasi yang saya dapat dan saya anggap betul adalah bahwa Candi Ratu Boko adalah tempat pembakaran jenazah kemudian abunya di tempatkan disetiap candi yang bersangkutan, mengapa demikian percaya nya saya pada hal itu!, setidaknya fakta yang ada bahwa candi Ratu Boko bermakna sebagai raja alam baka(boko-jawa), alam kematian. Bukankah demikian?, selain itu terdapatnya bangunan kaputren, kasatrian, beberapa kolam pemandian dll adalah bagian dari pola sosial waktu itu, yaitu salah satu kolam sebagai tempat penyucian jenazah sebelum diperabukan, sedangkan bekas bangunan yang dianggap kaputren, kasatrian memang kala itu adalah tempat para tamu untuk beristirahat. Mengapa bisa demikian? tak lain kadang kita melihat masa lalu sebagai masa kemunduran dibanding masa sekarang, padahal jika kita sadari sebenarnya saat ini kita bukanlah apa-apa jika dibanding masa lalu waktu itu. Yang ingin saya sampaikan bukanlah sejarah candi tersebut, melainkan akan saya jadikan jembatan penghubung dengan Gunungkidul. Dari mana air yang dipakai untuk mensucikan jenazah tersebut?, tidak jauh dari Candi Ratu Boko ke arah selatan ada Candi Banyu Nibo(air berjatuhan-jatuh). Melihat dari kata “banyu nibo” saya langsung terbayang sebuah air jatuh gemericik secara khusus tentunya, tak jauh dari candi itu adalah area perbukitan Gunungkidul, jadi mungkinkah candi ini sengaja dibangun untuk menandai suatu air terjun atau mata air yang memiliki kekhususan dimana airnya dari danau kuno Gunungkidul? Mungkinkah air di gunungkidul dipergunakan sebagai air suci untuk memandikan jenazah para raja tanah Jawa yang sekarang abu jenazahnya berada di candi candi yang sudah kita kenal? Dari pemikiran saya di atas saya jadikan penguat balik blogs saya sebelumnya yang berjudul “batu hitam dan sebuah sejarah” Kembali lagi ke tulisan saya di atas sebelum ulasan candi Ratu Boko, melihat faham arah mata angin sebagai papat kiblat limo pancer, candi candi tersebut baru mengikuti kurang lebih 2 arah mata angin, yaitu sisi timur di daerah Wiladeg, Karangmojo dan Semin, sedangkan candi di daerah Semanu dan Paliyan mewakili arah barat, berarti ada kemungkinan terdapat candi candi kecil di daerah barat dan utara di zona baturagung dengan titik pusat candi induk di tengah daerah Gunungkidul yaitu di zona Ledok. Jika candi-candi sekarang ini adalah merupakan candi perwara dalam kelompok kecil maka akan terdapat sebauh candi induk dengan ukuran besar, sedangkan kemungkinan kedua jika situs ini merupakan candi perwara di mana candi induk tidak jauh darinya maka ada kemunkinan kelompok candi ini membentuk suatu formasi meluputi candi gerbang utama, samping kanan dan kiri serta bangunan pusat sebagaimana halnya sebuah bangunan pemujaan agama Hindu(pola bangunan pura di Bali), sedangkan bangunan pusatnya tepat dekat object utama dalam hal ini adalah kawasan air. Melihat hasil teknik pemahatan yang sangat kasar serta kesan jauh lebih kuno, saya akan berpikir, kapan atau pada saat pemerintahan kerajaan apa bangunan ini dibuat.Adakah kemungkinan masa masa sebelum Demak, sebab masa itu Islam baru masuk Jawa sehingga kemungkinan besar hal seperti ini dilarang. Atau Majapahit? masalahnya jika pada era Majapahit, bukankah pada saat itu era keemasan masa lalu dari segi bangunan, di mana candi dengan menggunakan batu bata adalah teknik modern kala itu, mana mungkin untuk sebuah Majapahit mencitrakan kebudayaanya dengan pembangunan candi di Gunungkidul sedemikian kasarnya!.Pada masa Mataram kuno? mungkinkah? pada masa ini pembangunan candi dengan batu vulkanik-perlu diingat mengapa banyak candi ditemukan disekitar persawahan, tidak lain untuk pembangunan candi dari batu vulkanik dimana semennya seperti bangunan saat ini menggunakan campuran telur itik dan tetes tebu sehingga untuk suplay dalam jumlah banyak dan secara terus menerus hal ini tidak bisa dilaksanakan di Gunungkidul terutama tetes tebu. Jika kita memaksakan sebuah argumen bahwa candi di Gunungkidul dibangun sebelum kerajaan kerajaan tersebut di atas, lantas bagaimana dengan fakta bahwa kerajaan atau kebudayaan pertama di mulai di Jawa tengah!, Adakah yang salah dengan penulisan sejarah kita?

Gunung Kidul, Masa Lalu Yang Terlewatkan

s-sokoliman01badai laut selatan 04 mei 2007 Situs Wiladeg, Candi Risan, Situs Sokoliman, Situs Ngawit, Situs Dengok, Candi Nglemuru, Situs Gondang, Situs Ganang, Situs Gunungbang, Situs Beji, Kenapa harus saya sebutkan terlebih dahulu kata – kata itu? Tidakkah seharusnya semua orang memandang daerah kami? bahkan kami orang-orang Gunungkidul pun tak banyak mengerti hal ini. Tempat – tempat di atas merupakan adalah tempat tempat peninggalan berupa sisa-sisa bangunan masa lampau yang berbentuk candi atau semacamnya, maka disebut situs karena merujuk suatu tempat(pastilah adalah candi).Ada yang menarik dari tempat tempat ini, yaitu tersebarnya situs/candi ini di sekitar zona perbatasan zona Gunungsewu dengan zona Ledok, selain dari batu putih yang tak kalah menariknya adalah tempat ini bukanlah sebuah candi yang diperuntukkan untuk menempatkan abu jenazah melainkan adalah tempat pemujaan(data dari informasi lisan), mungkinkah candi ini adalah candi perwara atau bangunan pendamping candi induk? hmmm.m..m jika demikian berarti sangat mungkin ada candi induk besar yang belum ditemukan, saya jadi terbayang bisa jadi candi induknya ada di bawah rumah saya, atau sekolahan saya, dimanapun itu adalah sebuah ketidakpastian. Lantas apa yang dipuja dari candi candi ini, karena setidak tidaknya zaman dahulu candi juga dipakai untuk menandai daerah secara khusus. Sekarang kita tinggalkan sejenak kebingungan di atas, kita alihkan ke Candi Ratu Boko, candi ini disalah artikan sebagai keraton Ratu Boko, ayah dari Roro Jonggrang, ada juga yang menyebut sebagai benteng pertahanan.Dari informasi yang saya dapat dan saya anggap betul adalah bahwa Candi Ratu Boko adalah tempat pembakaran jenazah kemudian abunya di tempatkan disetiap candi yang bersangkutan, mengapa demikian percaya nya saya pada hal itu!, setidaknya fakta yang ada bahwa candi Ratu Boko bermakna sebagai raja alam baka(boko-jawa), alam kematian. Bukankah demikian?, selain itu terdapatnya bangunan kaputren, kasatrian, beberapa kolam pemandian dll adalah bagian dari pola sosial waktu itu, yaitu salah satu kolam sebagai tempat penyucian jenazah sebelum diperabukan, sedangkan bekas bangunan yang dianggap kaputren, kasatrian memang kala itu adalah tempat para tamu untuk beristirahat. Mengapa bisa demikian? tak lain kadang kita melihat masa lalu sebagai masa kemunduran dibanding masa sekarang, padahal jika kita sadari sebenarnya saat ini kita bukanlah apa-apa jika dibanding masa lalu waktu itu. Yang ingin saya sampaikan bukanlah sejarah candi tersebut, melainkan akan saya jadikan jembatan penghubung dengan Gunungkidul. Dari mana air yang dipakai untuk mensucikan jenazah tersebut?, tidak jauh dari Candi Ratu Boko ke arah selatan ada Candi Banyu Nibo(air berjatuhan-jatuh). Melihat dari kata “banyu nibo” saya langsung terbayang sebuah air jatuh gemericik secara khusus tentunya, tak jauh dari candi itu adalah area perbukitan Gunungkidul, jadi mungkinkah candi ini sengaja dibangun untuk menandai suatu air terjun atau mata air yang memiliki kekhususan dimana airnya dari danau kuno Gunungkidul? Mungkinkah air di gunungkidul dipergunakan sebagai air suci untuk memandikan jenazah para raja tanah Jawa yang sekarang abu jenazahnya berada di candi candi yang sudah kita kenal? Dari pemikiran saya di atas saya jadikan penguat balik blogs saya sebelumnya yang berjudul “batu hitam dan sebuah sejarah” Kembali lagi ke tulisan saya di atas sebelum ulasan candi Ratu Boko, melihat faham arah mata angin sebagai papat kiblat limo pancer, candi candi tersebut baru mengikuti kurang lebih 2 arah mata angin, yaitu sisi timur di daerah Wiladeg, Karangmojo dan Semin, sedangkan candi di daerah Semanu dan Paliyan mewakili arah barat, berarti ada kemungkinan terdapat candi candi kecil di daerah barat dan utara di zona baturagung dengan titik pusat candi induk di tengah daerah Gunungkidul yaitu di zona Ledok. Jika candi-candi sekarang ini adalah merupakan candi perwara dalam kelompok kecil maka akan terdapat sebauh candi induk dengan ukuran besar, sedangkan kemungkinan kedua jika situs ini merupakan candi perwara di mana candi induk tidak jauh darinya maka ada kemunkinan kelompok candi ini membentuk suatu formasi meluputi candi gerbang utama, samping kanan dan kiri serta bangunan pusat sebagaimana halnya sebuah bangunan pemujaan agama Hindu(pola bangunan pura di Bali), sedangkan bangunan pusatnya tepat dekat object utama dalam hal ini adalah kawasan air. Melihat hasil teknik pemahatan yang sangat kasar serta kesan jauh lebih kuno, saya akan berpikir, kapan atau pada saat pemerintahan kerajaan apa bangunan ini dibuat.Adakah kemungkinan masa masa sebelum Demak, sebab masa itu Islam baru masuk Jawa sehingga kemungkinan besar hal seperti ini dilarang. Atau Majapahit? masalahnya jika pada era Majapahit, bukankah pada saat itu era keemasan masa lalu dari segi bangunan, di mana candi dengan menggunakan batu bata adalah teknik modern kala itu, mana mungkin untuk sebuah Majapahit mencitrakan kebudayaanya dengan pembangunan candi di Gunungkidul sedemikian kasarnya!.Pada masa Mataram kuno? mungkinkah? pada masa ini pembangunan candi dengan batu vulkanik-perlu diingat mengapa banyak candi ditemukan disekitar persawahan, tidak lain untuk pembangunan candi dari batu vulkanik dimana semennya seperti bangunan saat ini menggunakan campuran telur itik dan tetes tebu sehingga untuk suplay dalam jumlah banyak dan secara terus menerus hal ini tidak bisa dilaksanakan di Gunungkidul terutama tetes tebu. Jika kita memaksakan sebuah argumen bahwa candi di Gunungkidul dibangun sebelum kerajaan kerajaan tersebut di atas, lantas bagaimana dengan fakta bahwa kerajaan atau kebudayaan pertama di mulai di Jawa tengah!, Adakah yang salah dengan penulisan sejarah kita?

sebuah batu hitam dan sejarah Gunung Kidul

DHAKSINARGA,

Sebuah gunung purba di selatan pulau Jawa dwipa.Tahukah anda?

salah satu bagian wilayah Gunung Kidul

salah satu bagian wilayah Gunung Kidul

badai laut selatan 04 mei 2007 Gersang, kering dan tandus. Selain itu secara kebanyakan orang menganggap Gunungkidul adalah sebuah pegunungan(mountain), tapi apa yang kita rasakan dari indera penglihatan kita sewaktu kita melawati daerah kelokan bukit Pathuk? banyak bongkahan batu berwarna hitam yang notabene adalah batu dari sebuah gunung berapi, tak hanya di bukit Pathuk saja, tapi di daerah Glundeng(sebelah timur ds Karang tengah), Gedhang Sari, juga jika kita dari arah kota Wonosari ke arah kota kecamatan Semin hal serupa kita dapati. Pernah saya berpikir batu batu tersebut berasal dari gunung Merapi di daerah kabupaten Sleman sana, saya sendiri kaget batu sebesar 2 kalinya badan kerbau tersebut terlempar begitu jauh ke tempat kami, Gunungkidul. Jika hal itu benar, bahwa gunung Merapi melepaskan batunya sampai Gunungkidul, apa jadinya kota Yogyakarta jika waktu yang terdahulu terulang lagi! itu pemikiran pertama dalam benak saya.

Pemikiran kedua, kemungkinan kata Gunungkidul adalah bermakna sebenarnya, yaitu gunung.Dari pengamatan amatiran saya, yang notabene hanya anak ndeso yang sedikit tahu informasi adalah jika saya pelajari secara awam Gunungkidul dibagi menjadi zona Gunung Sewu, Zona Ledok dan Zona Baturagung. Zona Gunungsewu meliputi daerah pantai selatan dan sekitarnya meliputi tanah tandus dan kering dimana air tawar berada di bawah tanah, berbukit bukit terjal dalam formasi banyak(gunung sewu/seribu gunung karena banyaknya bukit-bukit), Zona Ledok berupa lembah di utara zona gunung sewu, dengan tanah hitam dimana air lebih mudah didapatkan baik dari curah hujan maupun sumber air yang dapat ditarik keatas permukaan tanah, berbukit tapi cenderung rendah dan tidak se extrem gunung sewu, Zona baturagung berupa perbukitan yang naik turun dengan tingkat kecuraman sama dengan zona gunung sewu, perbedaannya jika di gunung sewu air sangat sulit didapatkan, di zona baturagung ini air berkecukupan.Berarti tanah di Gunungkidul berupa cekungan diapit 2 perbukitan, kemudian kita sambungkan data ini dengan batu hitam yang kita lihat di daerah bukit Pathuk tadi, bukankah secara tak terduga akan terpikir bahwa benar adanya Gunungkidul nyata-nyata gunung, Bukit pathuk sendiri di sebelah barat pada pertemuan zona ledok dan baturagung. Sedangkan bebatuan hitam di daerah ke arah kota Semin merupakan area sebelah timur di pinggiran zona baturagung dan ledok.Tak perlu kita takutkan secara berlebihan karena seandainya gunung itu adalah sebuah masa lalu, yang perlu adalah kita mengerti seperti apa sih Gunungkidul yang kita siniskan sebagai daerah tandus itu.

Pada beberapa waktu lalu saya tertarik pada sebuah artikel di majalah tempo interaktif yang mengulas tentang manusia purba di Gunung kidul.Disebutkan bahwa dikehidupan dahulu kala daerah Gunungkidul dihuni manusia purba, tidak sepurba yang di sangiran tentunya, melainkan dari segi kehidupan, karena manusia purba ini termasuk homo sapiens.Hidup dengan cara berburu binatang binatang liar seperti rusa, kerbau dan kuda nil termasuk hidup juga badak dangajah.Hal ini bisa dilacak melalui penemuan fosil di beberapa goa/song di zona gunung sewu berupa tulang belulang, gigi taring dan paha kudanil, mata panah dan kerangka manusia purba.Berarti dahulunya zona gunung sewu adalah hutan lebat dan padang luas. Jika kita perbandingkan antara dulu dan sekarang dalam perbandingan zona yang sama, maka:
– dari penemuan tersebut tergambar jelas bahwa dahulu zona gunung sewu adalah hutan lebat dan padang luas, jika kuda nil ditemukan disana berarti ada sebuah kawasan perairan yang luas, maka besar kemungkinan zona ledok adalah kawasan hutan yang jauh lebih lebat beserta danau/perairan yang lebih luas daripada zona gunung sewu, dengan perbandingan sekarang zona gunung sewu lebih kering dibanding zona ledok.
– sedangkan zona baturagung kurang lebih sama lebatnya dengan zona ledoksari, yang membedakan hanya cakupan medianya yang berbukit curam berbatu.

Jika hal ini mendekati kebenaran, maka kemana air di cekungan zona ledok mengalir. satu satunya jalan adalah turun melaui perbukitan pathuk sekarang ini, namun hal ini belum bisa saya dapatkan data, tapi menurut saya besar kemungkinan akan hal itu, karena jika kita lihat dari arah kota Piyungan sekarang ke daerah Gunungkidul di masa lalu adalah berupa tandon air di atas gunung yang tidak secara langsung mengucur ke bawah berbentuk air terjun.

Melihat masalalu lebih ke depan, kita dapati pengalaman Junghun ketika melihat pertama kali daerah Gunungkidul sebagai “Garden of Magic”, taman dengan suasana mistisnya.Gunungkidul pun banyak ditemukan situs-situs candi kuno yang sekarang sudah tidak utuh lagi, dari informasi yang saya dapat, candi candi ini terbuat dari batu kapur, berbeda dengan candi candi di Jawa Tengah yang terbuat dari batu gunung ataupun candi candi di Jawa Timur yang etrbuat dari batu bata. Jika candi – candi di kedua tempat tersebut merupakan tempat penyimpanan abu jenazah para raja, artikel yang saya baca adalah candi di Gunungkidul adalah tempat pemujaan baik pemujaan pada alam maupun secara agamis, dalam hal ini saya menarik kesimpulan bahwa daerah Gunungkidul dulunya dipuja sebagai suatu tempat yang mempunyai sifat lebih(dengan tidak merendahkan atau menyamakan daerah “yang lain”).