kahyangan

Gunung Kidul dalam perspektif Kahyangan

Badailautselatan 14 maret 2014. Kahyangan, menurut Wikipedia kata Kahyangan berasal dari kata Ka-Hyang-an yang kesemuanya dirangkai mengandung arti tempat kediaman para Hyang atau leluhur, Hyang dimasudkan adalah suatu keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan suparanatural (berlifat ilahiah atau roh leluhur) dan saat ini terjemahan bebasnya Kahyangan adalah tempat para dewa yang disamakan dengan surga. Dari kesimpulan di atas bisa disamakan bahwa yang tinggal di Kahyangan adalah makhluk bukan berbadan manusia sebagaimana manusia yang hidup.

Cerita di masyarakat yang menyinggung tentang kahyangan biasanya cerita pewayangan, kali ini saya membandingkan makna Kahyangan dari dua cerita(lakon) pewayangan yang berbeda, yaitu Petruk Takon Bapa (Petruk menanyakan siapa ayahnya) dan Kresna Gugah (Sayembara membangunkan tidur panjang Kresna)

  1. Pada lakon Petruk Takon Bapa, terdapat adegan Petruk dan saudaranya Nala Gareng tidak puas atas jawaban-jawaban baik dari tuannya (Pandawa) bahkan ke Guru Besar Resi Durna, maka iapun memutuskan pergi menuju Kahyangan bersama saudaranya Nala Gareng pergi menghadap para Dewata di Kahyangan Indralaya untuk mencari tahu siapa sebenarnya ayah biologis mereka. Mereka menuju Kahyangan dengan cara mendaki Gunung Indralaya.
  2. Pada lakon Kresna Gugah, diadakan sayembara barang siapa yang sanggup membangunkan Kresna dialah (Pandawa dan Kurawa) yang akan memenangkan perang agung Bharata Yuda, maka berebutlah keuda pihak ini untuk membangunkan Kresna dari tidur panjangnya. Yang ternyata yang dirubung oleh Pandawa maun Kurawa adalah badan jasmaninya Kresna saja, sementara rohnya sedang berada di Kahyangan beserta para Dewa membahas takdir peperangan agung tersebut.

Selama ini penafsiran dari setiap adegan pewayangan selalu didasarkan pedoman bahwa yang ada dalam pewayangan tersebut adalah kiasan atau gambaran keadaan manusia bahkan sering juga didekatkan pada proses pengajaran agama Islam, misalnya perang Bharata Yuda ditafsirkan sebagai peperangan antara nafsu, pusaka jamus Kalimasada sebagai manifestasi Kalimat Syahadat. Menurut saya itu sah-sah saja karena pewayangan telah melewati akulturasi budaya sejak masa Demak dan Mataram  guna memasukkan Islam pada masyarakat Jawa yang telah lama memiliki keyakinan kuat tentang konsep ketuhanan. Terlepas dari hasil akulturasi tersebut, sepertinya konsep Kahyangan tidak mengalami perubahan, hanya saja semakin hari sepertinya ada sebuah kesepakatan pengetahuan di mana definisi Kahyangan adalah tempat para Dewa, roh leluhur dan disamakan dengan surga.

Jika kita mencermati cerita pewangan Petruk Takon Bapa, ada sebuah perbedaan mendasar dengan cerita Kresna Gugah dalam hal proses mencapai tempat bernama Kahyangan. Hal ini sangat terasa sekali jika kita membandingkan posisi kedua tokoh ini, Petruk adalah seorang abdi (pembantu) yang selalu mengiringi dan menasehati para tuannya (Pandhawa dan keturunannya) sedangkan Kresna adalah penjelmaan Dewa Wisnu di Arcapadha(bumi), pembantu(rakyat jelata) vs titisan dewa, kasta sudra vs kasta brahmana. Ada kesenjangan yang begitu besar di keduanya, mungkinkah seorang kasta sudra memiliki kemampuan yang sama dengan seorang kasta brahmana (apalagi titisan Dewa Wisnu) jika kita memaknai Kahyangan yang di datangi Petruk dan Kresna adalah sama.

Adegan yang lebih jelas sebenarnya ketika disebutkan Petruk dan Gareng mendaki Gunung Indrakila, sementara roh Kresna pergi ke Kahyangan dengan cara meninggalkan raganya, jika kita menganggap bahwa Kahyangan yang dituju keduanya adalah sama maka ada ketimpangan yang jauh lebih besar, yaitu Petruk dan Gareng  yang cuma seorang pembantu justru bisa masuk ke Kahyangan (yang dianggap surga) dengan membawa badan jasmaninya, sementara Kresna yang merupakan titisan Dewa Wisnu justru memasuki Kahyangan hanya bisa dengan rohnya.

Saya melihat ada sebuah kesalahan pemahaman Kahyangan selama ini, jika mengacu cerita pewayangan tersebut rasanya ada 2 kahyangan yang berbeda dimensi. Ketika Kresna menuju Kahyangan (pada cerita Khresna Gugah) untuk membahas takdir peperangan Bharata Yuda bersama para Dewa, nampaknya kahyangan yang di maksud adalah sebuah tempat yang tidak bisa dijangkau oleh alam manusia, sehingga untuk memasukinya Kresna harus meninggalkan badan kasarnya di bumi, sedangkan Petruk (di cerita Petruk Takon Bapa) menuju Kahyangan untuk menanyakan siapa ayahnya yang sebenarnya, kahyanganyang dimaksud adalah sebuah tempat di bumi yang memiliki setidak-tidaknya memiliki keindahan dan ketentraman yang tak ternilai oleh jangkauan gambaran manusia sehingga di samakan dengan Kahyangan tempat para dewata, sedangkan dewa yang ditemui oleh Petruk sepertinya manusia yang memiliki kemampuan menyerupai dewa.

Saya memiliki anggapan seperti itu karena ada dua nilai kepentingan yang berbeda, yaitu sekedar menanyakan jati diri sejarah keturunan dan takdir, selain itu mengingat Petruk (dan punakawan lainnya) di setiap pewayangan mulai dari cerita para dewa misal Sri Wisnu Krama, kemudian cerita di masa Ramawijaya sampai Bharata Yuda selalu ada menemani maka orang yang tahu tentulah orang yang mumpuni dengan gelar di atas resi, karena Resi Durna yang merupakan guru besar dari Pandawa dan Kurawa tidak tahu sama sekali. Dengan begitu Kahyangan tersebut adalah sebuah tempat di bumi yang terletak di atas Gunung Indrakila tempat seorang mumpuni menjauhi keramaian dan kemungkinan besar itu adalah sebuah pertapaan.

Sedangkan jika saya mengambil contoh sebuah kejadian yang dimuat dalam prasasti Turun Hyang (B) di mana Sang Jatiningrat (gelar Airlangga ketika mengundurkan sebagai raja) turun kembali untuk melakukan prosesi pembelahan wilayah kerajaan, muncul sebuah penggambaran bahwa Airlangga yang tidak menjabat lagi sebagai raja Kadhiri telah mendiami sebuah tempat khusus di luar istana, yang secara topography seharusnya lebih tinggi dibanding wilayah Kedhiri karena bagaimanapun Airlangga(Jatiningrat) masih hidup dan walau tidak menjabat sebagai raja tapi masih memiliki kekuasaan yang sangat besar.

Juga tingginya tempat yang ditinggali memungkinkan dirinya bisa mengamati secara langsung perkembangan fisik kotaraja. Dari beberapa tempat yang ada di wilayah Kedhiri hanya Gunung Klothok (tempat Goa Selo Mangleng) dan Gunung Wilis lah yang kiranya mencukupi persyaratan yang saya maksud.

Dengan begitu ketika peristiwa Dewi Kilisuci tidak mau berkuasa atas Kedhiri maka Airlangga turun dari salah satu tempat yang dipakai sebagai pertapaannya menuju Dhahanapura (Ibu kota kerajaan Kedhiri) guna melakukan pembelahan wilayah kekuasaan.

Tentunya kejadian seperti penolakan posisi kekuasaan oleh Dewi Kilisuci tidak serta merta diketahui secara langsung oleh Sang Jatiningrat(Airlangga), pastilah ada pembicaraan khusus antara orang-orang kerajaan dengan Airlangga di tempat pertapaannya, dan proses perjalanan dari Kedhiri menuju pertapaan Airlangga kiranya bisa disamakan dengan proses perjalanan yang dilakukan oleh Petruk dan Gareng dalam cerita pewayangan Petruk Takon Bapa.

—–end—

Pada bulan September-Oktober 2012 di Gunung Kidul  sedang ada proses eskavasi tepatnya di Situs Pulutan yang terletak di Dusun Butuh, Desa Pulutan, Kecamatan Wonosari. Banyak warga Gunung Kidul yang mendengar kabar ini berharap eskavasi tersebut akan menemukan sebuah candi yang besar atau setidaknya candi dalam persepsi umum adalah seperti candi Prambanan atau setidak-tidaknya seperti candi Risan yang ada di Kecamatan Semin, Gunung Kidul sehingga Gunung Kidul memiliki sebuah icon terbaru yang membanggakan.

Nampaknya harapan tersebut belum terwujud karena tidak ditemukan konstruksi badan candi secara lengkap sebagaimana yang diharapkan, mengutip berita yang diposkan di  web BPCB Yogyakarta :

–          Struktur bangunan yang diperkirakan sebuah candi. Bangunan diketahui berdenah bujur sangkar dengan sisi berukuran 5,5 x 5,5 m. Pintu masuk selebar ± 1 m berada di sisi timur bangunan. Bahan penyusun bangunan dari batu putih. Di tengah bangunan ditemukan struktur dinding sumuran sisi utara, barat, dan selatan, sedangkan sisi timur belum dapat ditampakkan karena terhalang akar pohon.

–          Temuan lepas berupa 3 ( dua) buah arca. Jika dilihat dari ikonografinya masing-masing diketahui sebagai Arca Agastya, Arca Ganesha, dan Arca Durga.

Dari hasil penemuan tersebut muncul sebuah komentar  “ternyata hanya sebuah pertapaan”.Entah apakah ungkapan kekecewaan tersebut  muncul dari hasil singgungan langsung dengan orang-orang yang terlibat baik secara langsung ataupun tidak, yang pasti justru ungkapan kekecewaan tersebut sangat menarik bagi saya.

Hanya sebuah pertapaan!

Sangat memungkinkan jika  struktur bangunan dari Situs Pulutan mewakili situs-situs lain dari masa yang sama yang belum ditemukan, di mana situs-situs ini merupakan bangunan pendamping yang memiliki formasi menyerupai candi perwara.

Dan bangunan-bangunan candi semacam Situs Pulutan ini bukan lagi sebuah candi yang dipakai banyak orang untuk memuja roh leluhur, melainkan sebuah bangunan tempat semadi (bertapa-sanggar pamelengan) bagi para raja (atau bangsawan lain)  yang memutuskan untuk meninggalkan hingar bingar pemerintahan guna mencapai jalan kesejatian hidup, dikarenakan para raja/bangsawan tidak hidup di masa yang sama sedangkan setiap raja/bangsawan tidak diperbolehkan menempati bangunan yang sama maka terbentuklah sebaran lokasi candi yang membentuk jalur candi perwara sebagaimana yang saya maksud di atas, tentunya tempat pembangunan candi (sanggar pamelengan) ini memiliki kaidah tersendiri, tidak sembarang raja/bangsawan bisa menempati setiap wilayah, pola pembagian wilayah ini sekilas mengingatkan saya pada pola pemakaman para Raja Mataram di Imogiri.

Sebagaimana yang pernah saya postingkan di blogs ini bahwa setiap raja yang berkuasa membangun satu candi di Gunung Kidul sebagai pengakuan atas kekuasaannya di tanah Jawa maka lebih spesifiknya gambaran candi-candi yang dibangun di daerah ini mirip persiapan tempat kediaman masing-masing raja di Khahyangan, hal ini nampaknya mendekati penggambaran lokasi khayangan para dewa di mana setiap dewa memiliki istananya masih masing di kahyangan.

Tentu kita berpikir seandainya Gunung Kidul/Duksinarga disamakan dengan kahyangan seharusnya situs yang tersebar di wilayah ini berupa candi-candi  yang keindahan dan kekayaan ornamennya sama  dengan candi-candi di wilayah Yogyakarta dan Sleman. Menurut pendapat saya justru hal ini menjadi sebuah kebalikan dari keadaan tersebut  di mana kemewahan adalah hanya di dunia nyata sehingga kemewahan materi yang ditampilkan di candi-candi di wilayah Yogyakarta tidak akan ditemukan di wilayah Gunung Kidul (wilayah tengah), karena orang yang menempati di wilayah ini membebaskan diri dari materi guna mencapai kesempurnaan takdir hidup. Kesempurnaan alam Gunung Kidul/Duksinarga dengan ratusan danau-danau kecil serta hutan-hutanya dilengkapi segenap faunanya  mencukupi sebuah situasi pencapaian jalan ketenangan (samadi). Sementara wilayahnya yang terisolasi akibat dari bentangan sungai Bengawan Solo(purba) dan Maha Bengawan Opak dengan aliran nya yang deras membuat benteng alam yang susah ditembus, tidak semua sisi Bengawan bisa diseberangi, di mana tempat-tempat penyeberangannya (panambang) di jaga serta di puja secara khusus, selain itu juga dibangun pos-pos khusus untuk pengamatan di beberapa perbukitan sekelilingnya yang berupa candi-candi kecil sekaligus sebagai tempat pemujaan.

Jejak – jejak kekayaan alam wilayah Gunung Kidul bagian tengah ini nantinya terlukiskan oleh Tom Pires dengan menyebut Gunung kidul sebagai “Garden of Magic”.